Monday, January 9, 2012

Good Bye RSPO….....

EMOSI asosiasi industri sawit nasional sedang di titik kulminasi. Asosiasi itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), tak dapat lagi menahan diri terhadap perlakuan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dianggap tidak fair terhadap industri sawit.
Puncaknya,  Gapki memutuskan keluar dari RSPO sejak 29 September 2011
barusan, padahal sebagai asosiasi nirlaba RSPO berkomitmen menyatukan
kepentingan tujuh sektor industri kelapa sawit secara adil dan
berimbang.

Mengapa RSPO dianggap tidak fair? Gapki mengemukakan RSPO sudah keterlaluan karena terus membidik soal lingkungan dengan membuat persyaratan yang semakin memberatkan industri sawit nasional, padahal seyogianya mereka memberi keseimbangan terhadap kebutuhan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Toh, anggota RSPO bukan hanya pelaku industri sawit, melainkan juga dari produsen produk konsumsi, produsen kosmetik, pengolah dan pedagang kelapa sawit, penyedia jasa keuangan, peritel, dan lembaga swadaya masyarakat.

Buntut kebijakan RSPO itu pernah membuat perusahaan raksasa sekelas Unilever dan Nestle membatalkan kontrak pembelian produk sawit nasional bernilai trilunan rupiah setahun silam.

Akibatnya industri sawit nasional trauma terhadap RSPO. Syukurlah, kini dua perusahaan internasional itu sudah membeli kembali produk sawit dari perusahaan perkebunan kita. Tetapi, bukannya senang, RSPO justru semakin memperketat syarat dalam membangun perkebunan sawit, misalnya semua sumber emisi gas rumah kaca di perkebunan kelapa sawit harus dicatat, dimonitor, dan dilaporkan secara kontiniu. Lalu penanaman baru harus di lahan dengan stok karbon kurang dari 35 ton per hektar untuk mengurangi sebesar-besarnya emisi karbon, selain melarang semua penggunaan lahan gambut pula. Ini tentu membangkitkan lagi  trauma lama di kalangan industri sawit nasional, apalagi mereka pun merasa dipermainkan oleh RSPO.

Di mata asosiasi industri sawit nasional sikap RSPO itu sudah tak bisa ditolerir lagi. Mereka dianggap tak memandang muka Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia, soalnya selama ini  industri sawit nasional juga sudah berusaha menyesuaikan pengelolaan perkebunan sesuai syarat RSPO. Bahkan sebagai komitmen terhadap lingkungan kita pun sudah punya Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dimana pemerintah mewajibkan industri sawit nasional bergabung ke dalam organisasi ini.

Apa boleh buat Gapki sudah memutuskan bilang good bye kepada RSPO. Ini berarti, asosiasi industri sawit nasional itu, tak lagi terikat dengan semua kesepakatan dan aturan  RSPO.

Begitupun guna meminimalisir risiko bisnis di masa mendatang sebaiknya Gapki segera membesarkan ISPO, mengingat RSPO memiliki 650 anggota dari 50 negara, termasuk Eropa dan berbagai perusahaan di sana yang selama ini menjadi pembeli utama produk sawit dari perusahaan perkebunan nasional.

Kalau ISPO bisa sejajar dengan RSPO  maka posisi tawar industri sawit nasional niscaya tetap kuat di mata para buyer di Eropa atau negara-negara lain di Asia dan Afrika. Konon pula, sebagai produsen sawit terbesar dunia, Indonesia mampu menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan kebutuhan sosial dan lingkungan. Maka tak apalah kita melambaikan tangan kepada RSPO. Good bye, friend…

No comments:

Post a Comment